Dunia Itu Hanya Tiga Hari
Jauhi Kufur Dekati Syukur
Rahasia Bersuci
Dibalik setiap amal ibadah yang dikerjakan oleh setiap muslim pasti ada rahasia-rahasia yang tersembunyi dibalik ibadah-ibadah itu dan tentunya dibalik rahasia yang tersembunyi itu ada kebaikan-kebaikan yang mendatangkan keuntungan bagi yang mengerjakan ibadah-ibadah tersebut.
Tidak terkecuali dengan bersuci. Aktifitas bersuci juga merupakan salah satu dari bentuk ibadah yang tentunya juga memiliki rahasia dibalik setiap bentuk-bentuk bersuci yang dikerjakan oleh setiap muslim.
Untuk mengetahui rahasia-rahasia dibalik bentuk-bentuk bersuci, maka kita dapat memperolehnya dengan membaca Buku "Rahasia Bersuci" yang ditulis oleh Imam Al-Ghozali.
Buku Rahasia Bersuci ini dapat kita baca dalam bentuk ebook yang bisa di unduh melalui link yang ada di bawah ini
TERJEMAHAN BAHJATUL WASAIL
Kitab Bahjatul Wasail bi Syarh al-Masail merupakan sebuah karya ulama terkenal Nusantara, iaitu al-Syaikh al-‘Allamah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi al-Bantani al-Jawi al-Syafi’i al-Qadiri (1230-1314H / 1815- 1897). Kitab ini merupakan uraian (syarah) bagi kitab Masail atau judul lainnya al-Risalah al-Jami’ah Bayna Ushuluddin wa al-Fiqh wa al-Tashawwuf karya al-Sayyid Ahmad bin Zain bin ‘Alawi bin Ahmad al-Habsyi (1069-1145H).
al-Sayid Ahmad bin Zain al-Habsyi, penyusun kitab al-Risalah al-Jami’ah, iaitu matan asal kitab Bahjah al-Wasail di atas menerangkan sumber penulisan kitabnya dalam pendahuluan kitabnya;
TERJEMAHAN KITAB BIDAYATUL HIDAYAH
Kitab Bidayatul Hidayah merupakan karang dari Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, lahir pada tahun 1058 M / 450 H, berasal dari Tous, Iran dan wafat pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi (usia 53) atau tahun 505 Hijriah
Kitab Bidayatul Hidayah, adalah kitab yang membahas seputar proses awal seorang hamba mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Dan juga menjelaskan tentang etika dalam berusaha mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta dengan tata cara dan adab yang benar.
Kata Imam Ghozali, ada tiga hal penting yang perlu diketahui umat dalam meraih hidayah (petunjuk) Allah tersebut dalam kehidupannya. Yakni, bagian adab-adab ketaatan, meninggalkan maksiat (dosa), dan cara bergaul dengan manusia.
Inilah mengapa sudah seharusnya setiap muslim mempelajari ilmu dari kitab Bidayatul Hidayah, agar tahu akan adab-adab terhadap Allah, semangat meninggalkan maksiat dan mampu bergaul baik dengan sesama manusia.
untuk versi Ebook Kitab Bidayatul Hidayah dapat di Download melalui link di bawah!!
BIDAYATUL HIDAYAH |
Sejarah Bubur Asyuro
Sumber: NU Online
99 Fenomena AlQur'an
99 FENOMENA MENAKJUBKAN DALAM ALQUR'AN |
Al Fiqh Al Manhaji
Berikut ringkasan kandungan kitab ini berdasarkan buku terjemahan yang diterbitkan oleh Darul Syakir Enterprise, iaitu buku yang diterjemahkan oleh panel yang diketuai oleh Dr Zulkifli bin Mohamad al-Bakri. Buku ini terdiri dari 7 buah buku termasuk muqaddimahnya;
- Muqaddimah: Menceritakan tentang Kitab al-Fiqh al-Manhaji, keistimewaannya, metodologi terjemahan, bibliografi ringkas pengarang, tokoh hadith dan Imam Al-Syafi'i serta fiqhnya, Mabadi' al-‘Ulum, Istilah Fiqh al Syafi', Pendapat Tokoh dan Ulama' Berkenaan Kitab al-Fiqh al-Manhaji.
- Jilid 1: Hukum Bersuci, Solat, Azan & Iqamah,Zakat Fitrah, Qurban dan Jenazah.
- Jilid 2::Zakat, Puasa, Haji & Umrah, Bersumpah, Nazar, Perburuan, Penyembelihan, Aqiqah, Makanan & Minuman, Permasalahan Dadah, Pakaian & Perhiasan dan Kaffarah.
- Jilid 3 :Bab Nikah dan Perkara Berkaitan, Poligami, Rukun Mut'ah, Nusyuz, Fasakh, Talaq, Iddah, Nafaqah, Penjagaan Anak, Penyusuan, Keturunan, Anak Pungut, Wakaf, Wasiat dan Pemegang Amanah.
- Jilid 4 :Ilmu Faraid, Jual Beli, Khiar, al-Iqalah, Salam, Kontrak Jual Beli Tempahan, Riba', Sarf, Hutang dan Anugerah.
- Jilid 5 :Hiwalah, Syuf'ah, Musaqah, Muzara'ah, Pinjaman, Syarikat dan Pelaburan.
- Jilid 6 :Jenayah, Qisas, Diyat, Hudud, Zina, Minum Arak, Mencuri, Hirabah, Murtad, Jihad, Perlumbaan, Hiburan, Kehakiman, Dakwaan & Bukti, Sumpah, Pengakuan, Halangan dan Pemimpin.
Fiqih Wudhu
Wudhu merupakan salah satu cara menyucikan diri dari hadas. Wudhu juga salah satu syarat sahnya shalat.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah…” (Al-Maa-idah: 6).
Dari Ibnu Umar mengatakan Rasulullah Saw bersabda: "Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci".
Selain sebagai syarat sahnya shalat, berwudhu juga sangat dianjurkan bagi orang yang sedang dilanda marah karena bisa meredam amarah seseorang.
Berikut keutamaan wudhu dalam Islam dikutip iNews dari Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah (PISS-KTB):
1.Diangkat Derajatnya
Nabi Muhammad Saw bersabda:
"Maukah kalian aku tunjukkan atas sesuatu yang dengannya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?” Mereka menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudhu pada keadaan yang dibenci (seperti pada keadaan yang sangat dingin), banyak berjalan ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat. Maka itulah ribath, itulah ribath.” (HR. Muslim).
2. Diampuni Dosanya
Dari Usman bin Affan ra, ia berkata "Saya melihat Rasulullah SAW berwudhu' seperti wudhu'ku ini, kemudian beliau SAW bersabda: "Barangsiapa yang berwudhu' sedemikian, maka diampunkan untuknya dosa-dosa yang telah lalu dan shalatnya serta jalannya ke masjid adalah sunnah hukumnya." (HR. Muslim).
3. Kesalahan-kesalahannya Keluar Bersama Air
Apabila seseorang hamba yang Muslim atau mu'min itu berwudhu', lalu ia membasuh mukanya, maka keluarlah dari mukanya itu semua kesalahan yang disebabkan ia melihat padanya dengan kedua matanya dan keluarnya ialah beserta air atau beserta tetesan air yang terakhir.
Jikalau ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari kedua tangannya itu semua kesalahan yang dilakukan oleh kedua tangannya beserta air atau beserta tetesan air yang terakhir.
Selanjutnya apabila ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah semua kesalahan yang dijalankan oleh kedua kakinya beserta air atau beserta titisan air yang terakhir, sehingga akhirnya keluarlah ia dalam keadaan suci dari semua dosa." (HR. Muslim).
Dari Usman bin Affan ra, ia berkata : "Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang berwudhu' lalu memperbaguskan wudhu'nya, maka keluarlah kesalahan-kesalahannya sehingga keluarnya itu sampai dari bawah kuku-kukunya." (HR. Muslim).
4. Perhiasan di Surga
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata "Saya mendengar kekasihku Rasulullah SAW bersabda: "Perhiasan-perhiasan -di surga- itu sampai dari tubuh seseorang mukmin, sesuai dengan anggota yang dicapai oleh wudhu. (Riwayat Muslim).
5. Wajahnya Bercahaya pada Hari Kiamat
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya ummatku itu akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajahnya dan amat putih bersih tubuhnya dari sebab bekas-bekasnya berwudhu'. Maka dari itu, barangsiapa yang dapat di antara engkau semua hendak memananjangkan cahayanya, maka baiklah ia melakukannya - dengan menyempurnakan berwudhu' itu sesempurna mungkin." (HR. Muttafaqun 'alaih)
6. Diizinkan Masuk Surga lewat Pintu Mana pun
"Tiada seorang pun dari engkau semua yang berwudhu' lalu ia menyampaikan yakni menyempurnakan wudhu'nya, kemudian mengucapkan: Asyhadu an laaailaaha illallah wahdahuu laa syarikalahu, wa Asyhadu Anna muhammadin abduhu warasuluhu.
melainkan dibukakanlah untuknya pintu syurga yang delapan buah banyaknya. la diperbolehkan masuk dari pintu mana pun juga yang dikehendaki olehnya." (HR. Muslim). Dan masih banyak lagi yang lainnya.
7. Tidurnya Dijaga Malaikat
Dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda " Tidaklah seorang hamba tidur dalam keadaan suci (bewudlu/punya wudlu) kecuali malaikat akan tidur pada selimutnya ( untuk menemaninya) dan tidak akan meninggalkannya sepanjang malam kecuali malaikat tersebut berkata "Yaa Allah.. ampunilah hambaMu ini karena ia tidur dalam keadaan suci (HR.Thobroni).
Bagi yang mengetahui seluk beluk mengenai wudhu, maka di bawah ini ada ebook yang berjudul Fiqih Wudhu, silahkan di download
FIQIH WUDHU |
Sumber artikel INews Jateng
Sumber Ebook Rumah Fiqih
AIR MUSYAMMAS, MAKRUHKAH?
Air Musyamas adalah air yang dipanaskan dibawah sinar terik matahari, sehingga air tersebut berubah menjadi panas. Telah ternashkan dari Imam asy-Syafi’I bahwa beliau memakruhkan air musyamas. Beliau berkata :
وَلَا أَكْرَهُ الْمَاءَ الْمُشَمَّسَ إلَّا مِنْ جِهَةِ الطِّبِّ
“aku tidak memakruhkan air musyamas, melainkan dari sisi kesehatan” (al-Umm vol. 1 / hal. 16).
Dalil dalam masalah ini adalah 2 jenis hadits, yang pertama secara marfu’ dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dan hadits Mauquf Umar bin Khothob radhiyallahu ‘anhu. Hadisnya Umar dibawakan oleh Imam Syafi’I setelah menyebutkan kalam diatas, dengan sanadnya sampai kepada Jaabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ الِاغْتِسَالَ بِالْمَاءِ الْمُشَمَّسِ وَقَالَ: إنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ
“bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu tidak suka mandi dengan air musyamas, katanya : “itu dapat menyebabkan penyakit kusta”.
Adapun hadits Aisyah, Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam sunannya dengan sanadnya sampai kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata :
قَالَتْ: أَسْخَنْتُ مَاءً فِي الشَّمْسِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَا تَفْعَلِي يَا حُمَيْرَاءُ، فَإِنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ “.
“aku memanaskan air dibawah terik matahari, lalu Nabi sholallahu ‘alaihi wa Salam berkata kepadaku : “jangan lakukan itu wahai Humairoo’, sesungguhnya itu akan menyebabkan kusta”.
Imam Baihaqi setelah menyebutkan hadits ini berkata, hadits ini tidak shahih.
Imam Nawawi dalam “al-majmu’ syarah al-Muhdzab” telah memberikan penilaian untuk kedua hadits diatas dengan penilaian kedua hadits tersebut Dhoif dan menyandarkannya sebagai kesepakatan ahli hadits (vol. 1 / hal. 87, cet. Daarul Fikr).
Imam Syafi’I kelihatannya sudah paham dengan status hadits diatas, oleh karenanya alasan pe-makruh-an air musyamas, menurut beliau adalah dari sisi kesehatan. Pendapat makruhnya air musyamas itu adalah mu’tamad menurut sebagian ulama syafi’iyyah seperti : Imam al-Mawardi di dalam kitabnya “al-Hawi” (1/42), Imam Abu Suja’ dalam “al-Ghoyah wa at-Taqriib (hal. 3), Imam Nawawi dalam “Minhajut Tholibin” (hal. 9), Imam ar-Rofi’I sebagaimana dinukil dalam “Kifayatul Akhyar” (hal. 12), al-‘Alamah Zakariya al-Anshori dalam “Asaanil Matholib” (1/8), al-‘Alamah asy-Syarbiiniy dalam “Mughnil Muhtaj” (1/119), dan lain-lain.
Muhammad az-Zuhailiy dalam kitabnya “al-Mu’tamad fii Fiqih asy-Syafi’I” (1/38) pun menyebutkan masalah makruhnya air musyamas. Ini menunjukkan bahwa pendapat makruhnya air musyamas adalah menjadi pegangan dalam madzhab Syafi’i. namun Imam Nawawi sebagai muhaqiqinnya Syafi’iyyah berpendapat lain dengan mengatakan bahwa air musyamas tidak makruh, beliau berkata :
فَحَصَلَ مِنْ هَذَا أَنَّ الْمُشَمَّسَ لَا أَصْلَ لِكَرَاهَتِهِ وَلَمْ يَثْبُتْ عن الاطباء فيه شئ فَالصَّوَابُ الْجَزْمُ بِأَنَّهُ لَا كَرَاهَةَ فِيهِ وَهَذَا هُوَ الْوَجْهُ الَّذِي حَكَاهُ الْمُصَنِّفُ وَضَعَّفَهُ وَكَذَا ضَعَّفَهُ غَيْرُهُ وَلَيْسَ بِضَعِيفٍ بَلْ هُوَ الصَّوَابُ الْمُوَافِقُ لِلدَّلِيلِ
“kesimpulannya, air musyamas tidak ada dasar pe-makruh-annya, dan tidak mantap dari para dokter terkait adanya penyakit yang ditimbulkan olehnya. Maka yang benar adalah kepastian tidak makruhnya air musyamas. Ini adalah wajh (salah satu) pendapat yang diriawyatkan oleh Mushonif (Imam asy-Syairaziy), namun beliau dan ulama lain melemahkan wajh qoul ini. Akan tetapi qoul tersebut tidak lemah, bahkan itulah yang benar karena bersesuaian dengan dalil (umum)” (1/87).
Dalam kitab “al-Muhadzab” tulisan Imam asy-Syairozi yang dijadikan sebagai bahan syarah oleh Imam Nawawi, memang Imam asy-Syairozi berkata :
وَلَا يُكْرَهُ مِنْ ذَلِكَ إلَّا مَا قُصِدَ إلَى تَشْمِيسِهِ فَإِنَّهُ يُكْرَهُ الْوُضُوءُ بِهِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا يُكْرَهُ كَمَا لَا يُكْرَهُ بِمَاءٍ تَشَمَّسَ فِي الْبِرَكِ وَالْأَنْهَارِ وَالْمَذْهَبُ الْأَوَّلُ
“tidak dimakruhkan air musyamas, kecuali jika sengaja untuk dipanasi dibawah sinar terik matahari, maka ia makruh untuk berwudhu. Diantara madzhab kami ada yang mengatakan tidak makruh, sebagaimana tidak makruhnya air yang kena panas matahari di kolam dan sungai. Dan madzhab (yang mu’tamad) adalah pendapat pertama”.
Dari perkataan Imam asy-Syairozi tersirat bahwa air musyamas ada 2 kondisi, yakni sengaja dipanaskan dan tidak sengaja, kalau tidak sengaja maka tidak makruh, adapun yang disengaja maka itulah yang makruh. Imam Abul Khoir dalam kitabnya “al-Bayaan fii Madzhabi Imam Syafi’I” (1/13-14) merinci ada 5 pendapat jika air sengaja dipanaskan dibawah terik matahari :
- Makruh ini nash (Imam asy-Syafi’i);
- Tidak makruh alasannya sebagaimana tidak makruhnya air yang kena panas matahari di kolam dan sungai, ini juga pendapatnya Imam Abu Hanifah;
- Jika air yang dipanaskan terdapat dalam bejana kuningan, maka makruh karena katanya dapat menyebabkan kusta, jika selain bejana kuningan tidak makruh;
- Makruh jika digunakan di badan, namun tidak makruh untuk mencuci pakaianya, ini pendapatnya Imam asy-Syaasyi;
- Jika 2 orang dokter yang adil mengatakan air tersebut bisa menyebabkan kusta, maka makruh, namun jika tidak maka tidak makruh.
Akan tetapi Imam Abul Khoir mengisyaratkan beliau berpegang dengan pendapat yang mu’tamad.
Sedangkan Asy-Syaikh DR. Muhammad az-Zuhaily agaknya condong kepada pendapatnya Imam Nawawi, begitu juga penyusun artikel ini condong kepada pendapat tidak makruhnya secara mutlak, karena 2 alasan yang disebutkan oleh Imam Nawawi, yaitu :
- Hadits yang dijadikan dalil tidak shahih.
- Tidak adanya kepastian dari hasil penelitian dokter (ahli kesehatan) yang menyatakan bahwa air musyamas menyebabkan kusta. Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al-Mughni” (1/15) berkata :
وَحُكِيَ عَنْ أَهْلِ الطِّبِّ أَنَّهُمْ لَا يَعْرِفُونَ لِذَلِكَ تَأْثِيرًا فِي الضَّرَرِ.
“diriwayatkan dari para ahli kesehatan, mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut menyebabkan bahaya/penyakit”.
SUMBER : Ikhwah Media
SUNNAH MEMBACA SURAT AN-NAAS, AL-FALAQ DAN AL-IKHLAS SEBELUM TIDUR
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 6/190)
Dalam praktiknya harap berhati-hati jangan sampai berkeyakinan bahwa semata-mata surat al-Ikhlas, al-Falaq dan An-Nas kemudian diusapkan kepada anggota tubuh mempunyai hasiat atau kekuatan tertentu. Karena jika demikian, dikhawatirkan termasuk dalam ruqyah atau jampi, sedangkan jampi adalah syirik berdasarkan hadis
عَنْ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّ الرُّقَى ، وَالتَّمَائِمَ ، وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
Dari Abdullah berkata : Aku mendengar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sesunggguhnya ruqyah (jampi), tamimah (jimat), dan tiwalah (asihan) itu syirik (HR. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 9/4)
Akan tetapi pelaksanaan sunah tersebut semata-mata hanya mengikuti atau ittiba’ kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam saja berdasarkan hadis yang sahih dan sarih sehingga bernilai ibadah, sebagaimana Umar bin Khattab yang mencium hajar Aswad, semata-mata mengikuti sunah Nabi Saw, karena pada hakikatnya hajar aswad tidak dapat memberi manfaat ataupun memadharatkan. Jika tidak demikian, maka dikhawatirkan masuk dalam kategori jampi walaupun dengan ayat atau surat al-Quran sekalipun.
Sumber https://tanyajawabfikih.com/bacaan-surat-sebelum-tidur/
Murottal Surat An-Naas, Al-Falaq dan Al-Ikhlas
Ensiklopedia AlQur'an
Dan Mereka Bertanya Tentang Haid
Islam Agama yang Mengutamakan Kebersihan
Kitab Maroqil Ubudiyah
FIQIH MALU